Search This Blog

Tuesday, June 15, 2010

PLUS MINUS SLOW FOOD

Istilah ini mungkin baru di telinga Anda, meski sudah 20 tahun didengungkan Dr. Carlo Petrini di Italia. Cita-citanya sederhana: melestarikan menu tradisional yang nyaris punah, sehingga menu dunia tak perlu seragam berkiblat ke menu fast food seperti menggejala dewasa ini. Gerakan ini membuahkan dua badan, yakni Asosiasi Terra Madre (artinya Ibu Pertiwi), dan Yayasan Keberagaman Hayati. Cabangnya tersebar di 150 negara, termasuk di Indonesia.

Buat kita, tidak asing untuk berkiblat kembali ke menu Timur ala nenek moyang. Harus diakui, menu tradisional Indonesia itulah yang harus menjadi panutan menu sehat, bukan menu fast food, atau yang sejenis itu.

Bukan dilarang mengonsumsi steik. Dilarang bila steik menjadi menu utama dan satu-satunya. Menu itu yang bikin orang Barat jadi penyakitan. Secara kodrati, menu sejenis steik tidak bersesuaian dengan kebutuhan tubuh manusia.

Manusia itu harimau, kera, dan kambing

Yang tubuh manusia butuhkan lebih banyak karbohidrat daripada nasi, ubi, jagung, sagu, atau sejenisnya. Hanya sedikit saja porsi lemak dan protein. Dalam steik, justru lemak dan protein yang lebih banyak, sedangkan porsi karbohidrat dari kentang, wortel, dan buncis, sangat sedikit.

Para penyuka menu Barat kini terbukti berisiko terkena berbagai jenis penyakit metabolisme. Mereka rentan tersungkur oleh penyakit peradaban karena menu harian yang dipilih tidak ramah terhadap tubuhnya sendiri.

Kalau diamati dari susunan gigi-geligi kita saja terlihat apa yang sesungguhnya tubuh butuhkan. Taring yang hanya empat buah mencerminkan kebutuhan tubuh manusia akan daging hanyalah seperdelapan dibandingkan dengan jumlah gigi yang manusia miliki.

Gigi Seri seperempat jumlah gigi berarti kebutuhan akan buah 4 porsi, sedangkan gigi geraham yang lebih banyak cermin perlu asupan karbohidrat, sayur mayur, dan bebuahan perlu porsi paling banyak.

Artinya manusia itu mencerminkan harimau, kera, dan kambing. Seperti itu pola komposisi menu harian kita sejatinya.

Menu nenek moyang itulah yang harus dikejar orang modern yang telanjur menyukai hamburger, pizza, sosis, chicken wing, kebab, atau hotdog. Selain kalorinya lebih tinggi, kandungan lemaknya melebihi yang tubuh butuhkan.

Anak sekarang lebih memilih ayam goreng ketimbang ikan goreng yang sebetulnya lebih menyehatkan. Atau pilih burger ketimbang sate atau ikan pindang. Diprediksi, nasib generasi sekarang bakal berisiko sama buruknya dengan orang Barat selama ini. Angka kanker dunia meningkat, antara lain lantaran orang salah memilih menu harian.

kembali ke meja makan nenek

Anak-anak harus diciptakan cita rasa lidahnya kembali menyukai menu nenek. Sepiring nasi dari bers tumbuk yang masih kaya akan kandungan vitamin B, sepotong ikan atau daging, sepotong tahu dan tempe, semangkuk lodeh atau sayur asam.

Seperti itu menu menyehatkan yang hendaknya senantiasa disajikan di meja makan rumah. Bahwa kesehatan itu ada di dapur, bukan di restoran.

Gaya makan orang sekarang yang serba instan dan terbius rasa gurih menu luar rumah, selama bertahun-tahun tubuhnya tanpa disadari tengah menimbun aneka cemaran bahan kimiawi makanan yang tidak semuanya aman dikonsumsi. Zat penyedap, zat pengawet, pewarna, perenyah, antilengket mi, dan bahan aditif lain yang mungkin tidak aman, bisa lolos ke industri makanan.

Bukan saja karena kelebihan makan daging, kini penderita penyakit kanker bertambah banyak, melainkan sama buruknya bila tubuh juga tercemar bahan kimiawi aditif dari makanan dan minuman.

Berapa besar pengaruh pemanis buatan dalam jajanan yang sekalipun dinilai aman, untuk waktu lama bagi usia anak, mungkin berpotensi membahayakan. Seberapa aman pun bahan kimia, tidak lebih aman dari bahan yang berasal dari alam. Contohnya, gula merah pasti lebih aman daripada qula gasir.

Belajar dari Menu Okinawa

Dunia kedokteran modern mempelajari kehidupan nelayan asal Okinawa, pulau kecil di Jepang, bagaimana mereka bisa mengulur umur lebih panjang dari rata-rata orang di seluruh dunia. Umur harapan hidup nelayan Okinawa tercatat tertinggi di dunia (81,5 tahun), dan populasi orang berumur seratus tahunan (centenarian) terbanyak berada di pulau kecil itu.

Harvard belajar bagaimana bisa berumur panjang dari penduduk Okinawa. Para ahli menemukan bahwa pola makan dan gaya hidup orang Okinawa itulah yang bukan saja membikin umur mereka terpanjang di dunia, melainkan juga masih tetap sehat (healthy aging). Demi kesehatan, eloknya kita meneladaninya.

Penduduk Okinawa memanfaatkan segala jenis menu berasal dari alam, melupakan menu olahan dan buatan manusia. Padi-padian, kacang-kacangan, umbi-umbian, serta segala jenis jamur dan yang tumbuh di atas tanah, merupakan sumber menu di meja makan mereka. Gerakan "slow food" memelihara menu lokal yang menyehatkan seperti itu.

Model menu "slow food" mendahulukan jenis menu tradisional yang terbebas dari segala bentuk olahan dan proses terhadap bahan makanan yang berakhir tidak menyehatkan. Dari mulai cara bercocok tanam, merawat tanaman pangan, melindungi tanaman budi daya yang nyaris punah, meningkatkan keanekaragaman hayati, hingga memanfaatkan budi daya alam lokal yang serba menyehatkan.

Itulah cita-cita gerakan "slow food". Tidak salah kalau kita juga berkiblat ke jenis menu "slow food" sebagai lawan menu fast food yang sudah membudaya merasuki menu orang Timur, bahkan dunia.

Gerai burger bermerek sudah menyelusup sampai ke desa-desa di Cina. Betapa tubuh manusia sekarang sudah begitu lama "diracuni" oleh menu yang merusak tubuh, sehingga bisa diramalkan bakal bernasib mati prematur akibat penyakit yang ditimbulkan oleh salah memilih menu itu.

Oleh:
Dr. Handrawan Nadesul
Dokter Umum


http://cybermed.cbn.net.id/

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...